Apa yang membedakan antara rasa takut dengan rasa kasihan? Tidakkah
itu suatu hal yang berhubungan? Jam menunjukan 16.00 WIB, Teguh Prasetya
seorang pria pebisnis berumur 33 tahun itu sedang menata arsip dan dokumennya untuk presentasi dengan kliennya. Cuaca pada hari
itu agak begitu tenang tidak ada angin yang berhembus hanya ada beberapa
gumpalan awan hitam yang bergerak cepat di atas langit mungkin terlalu
tenangnya hingga tidak ada serangga pun yang keluar dari sarang untuk melakukan
aktifitas sehari-harinya.
Tiba-tiba seorang wanita datang ke ruangan Teguh dan membacakan
jadwal untuk hari ini, tentu saja kita bisa menebak bahwa wanita muda itu
adalah sekretarisnya.
“Nanti jam 7 sore ada rapat di cafe California dengan Pak Rudi
Handika, jam 10 malam rapat dengan manager PT. Harapan Putra. setelah itu, Anda
bisa istirahat.”
“Suruh Parmin untuk siapkan mobil, aku akan datang lebih cepat dari
jadwal.”
“Eh, Pak, Parminnya masuk
rumah sakit dia kecelakaan saat pulang dari kantor tadi malam.”
“Terus bagaimana dengan mobilku?” dahi Teguh mulai mengkerut
mendengar berita dari sekretarisnya.
“Sekarang sedang berada di Bengkel, Pak.”
“Dasar sopir ceroboh! ingatkan aku untuk memecatnya besok agar dia
menghargai bagaimana susahnya mencari pekerjaan di Indonesia. Siap kan aku mobil
lain dan sopir lain, cepat!” Teriak seorang Teguh sebagai sifat diktator pada
bawahannya.
“Tapi Pak, bukannya seharusnya Anda mengunjunginya di rumah sakit. Ya,
sebagai wujud bela sungkawa mungkin. Setidaknya untuk menghargai pengabdianya
selama 8 tahun di perusahaan ini?”
“Apa peduliku padanya? Dia tidak memberiku uang, rumah, dan
pekerjaan. Tidakkah kau mengerti perkataanku, siapkan kendaraan lain untukku.”
“Dasar keras kepala”. Gumam Sinta sekretaris Teguh.
“Apa Sinta?” .
“Eee…, itu Pak ada nyamuk kepalanya keras banget.” Mencoba mencari
alasan yang masuk akal, tapi sepertinya tidak berhasil.
“Apa hanya aku saja yang mendapatkan sekretaris yang aneh di negara
Indonesia ini? setidaknya pekerjaanmu selalu baik.”
“Iya Pak, Silakan pak ke basemen. Sudah ditunggu sopir
Bapak.”
Teguh bergegas pergi menaiki mobilnya, saat mobil sedang berjalan rintik
hujan mulai turun disertai petir yang menyambar. Desember akhir, kalau di
daerah eropa atau di barat akan turun salju tapi untuk di Indonesia hujan. Hujan
yang begitu lebat mungkin bisa dikatakan badai, seperti halnya kota-kota besar
di Indonesia. Hujan membuat banjir jalanan kota Semarang. Mesin mobil Teguh
tenggelam oleh air dan mati.
“Kenapa berhenti, Sopir?”
“Kelihatanya mesin mobilnya mati Pak, mungkin karena terendam air,
mungkin juga karena belum diperiksa tadi, atau mungkin mobilnya sudah tua.”
“Mungkin-mungkin! Cepat periksa aku tidak mau telat untuk rapat
nanti.” Teguh mulai kesal dengan sopir barunya.
Teguh melihat jamnya. Mengecek kembali file-filenya untuk rapat
nanti. Memandangi keadaan di sekitar. Walaupun banjir, aktifitas sore di
sekitar pasar Johar itu masih ramai oleh orang-orang. Semuanya masih sibuk
bekerja, hujan tak menghalangi semangat mereka mencari sesuap nasi untuk hidup
besok. Teguh adalah orang yang paling tidak suka disuruh bersabar atau menunggu
dia mulai membuka pintu mobilnya membawa tas dan melangkahkan kakinya untuk
berjalan melewati kerumunan orang-orang yang tidak peduli dengan hujan.
“Aku akan pergi dulu, jam 9 malam jemput aku di cafe California. Kalau
telat, kau akan ku pecat!”
“Baik Pak, saya usahakan.”
Teguh berlari mencoba untuk bisa tepat waktu pada rapat hari ini. Seperti prinsipnya waktu
adalah uang setiap waktu yang kau lewatkan bagaikan uang yang terbuang sia-sia.
Hanya saja kadang waktu juga tidak bersahabat. Saat berlari tergesa-gesa Teguh
jatuh ke lubang jalan yang aspalnya sudah rusak digerogoti oleh air. Lubangnya cukup
dalam hingga menenggelamkan kedua kakinya. Tidak itu saja ada beberapa mobil
yang melewati lubang air itu dan mecipratkan air ke tubuh Teguh.
“sial…! mobil sialan…! Bagaimana aku bisa datang ke rapat kalau
keadaanku seperti ini. Awas saja kalau ketemu lagi akan kutuntut kau dan ku
bawa masalah ini ke meja hijau! akan ku cari pengacara terbaik di Semarang.”
Teguh terus saja bergumam tentang nasib sialnya. Seperti halnya
orang lain jika bernasib buruk dia mulai berkata-kata kotor tak berharah
berharap kemarahannya bisa memperbaiki keadaan. Pikiran picik manusia yang tak
tau tentang rencana kehidupan.
Jam 17.05 WIB. Merasa telah lelah berlari-lari Teguh mengistirahatkan
badannya di halte bus. Sambil menunggu hujan yang semakin deras menerpa kota Semarang
hari ini. Angin berhembus begitu kencang menghempaskan sampah-sampah yang
berceceran di jalanan. Akan tetapi pandangan Teguh malah tertuju pada seorang
anak kecil berumur sekitar 9 tahunan, yang sedang mengambil buah apel dari
gerobak pedagang buah, seperti pencuri ahli sedang melaksanakan pekerjaannya
sangat hati-hati, cepat, dan tanpa bersuara.
Teguh melihat langit yang masih tertutup awan gelap. Dia mencoba
melihat jamnya lagi, berharap dia bisa datang ke meeting hari ini tepat waktu. Tapi
tidak dengan baju kotornya, pertama dia harus pergi ke toko pakaian, membeli
setelan jas baru, yang berkelas sehingga penampilannya bisa menjual. Dia
melirik anak kecil tadi dan memperhatikanya. Teguh tau anak itu akan gagal
dalam melaksanakan misinya. Teguh pergi dari halte bus.
Seketika itu pedagang buah mengetahui bahwa buahnya sedang dicuri.
“Apa yang kau lakukan? kau pencuri ya?”
“Nggak pak, tadi buahnya jatuh jadi aku ambilin.” Mencoba menghindar
dari pertanyaan bodoh.
“Aku tidak percaya, kamu pasti pencuri…!” Berteriak sambil
mengacungkan Tangannya ke bocah kecil itu.
Bocah kecil itu lari sekecang-kencangnya dari pedagang buah.
Mungkin hari ini nasibnya kurang mujur ketahuan saat melakukan aksinya. Memang
apa yang dipikirkan bocah berumur 9 tahun saat ketahuan mencuri. Dia hanya
tidak ingin mendapatkan hukuman.
Tiba-tiba Teguh muncul dari gang kecil dan menangkap anak kecil
itu. Mencoba menyelamatkan bocah itu dari pedagang buah yang sedang marah
karena buahnya dicuri.
“Diam, aku sedang menyelamatkanmu.” Berbicara dengan bocah itu,
sambil menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
“Lepaskan aku..!” mencoba melepaskan diri dari Teguh.
“Pedagang buahnya sudah pergi, kau aman sekarang. Bocah bodoh! Apa yang
kau pikirkan?, melakukan pencurian di tempat umum, terlalu banyak saksi.
Seharusnya kau berfikir tentang resikonya?” Teguh mencoba menasehati bocah
kecil itu, tapi apa memang itu bermanfaat.
“Bapak siapa? Aku nggak kenal Bapak. Terus apa urusannya
dengan Bapak? Aku lapar, nggak punya uang sehingga mencuri,” pertanyaan wajar
dari anak usia 9 tahunan.
“Aku ya aku, sebagai seorang cowok kamu cerewet juga. Namaku Teguh
Prasetya panggil saja Teguh”. Mencoba mengakrabkan diri dengan bocah 9 tahun,
apa memang perlu?
“Namaku Agung Setiawan, panggil saja Agung. Tapi, terima kasih Pak Teguh
atas pertolongannya? Aku pergi dulu.”
“Mau kemana kamu? urusan kita belum selesai?”
“Perutku masih lapar, aku mau cari makanan lagi.”
“Karena aku sudah menolongmu, sekarang kau harus menolongku sebagai
balas jasa?”
“Apa memang begitu, Bapak nggak ikhlas ya? Bantu aku?”
“Ini nggak ada urusanya antara ikhlas, atau nggak. Lagian aku juga
nggak tau apa yang kau maksud. Pokoknya sekarang aku mau kamu mengantarkan aku
ke toko pakaian dan mencarikan pakaian yang persis seperti yang aku kenakan
ini.” Teguh menjelaskan maksudnya.
“Aku pernah melihatnya, Ayo pak aku antarkan.” Agung menggandeng
tangan kiri Teguh dan mengajak berlari di bawah rintik hujan kota Semarang.
Mereka berdua berlari melewati daerah kumuh kota Semarang, dimana
tempat gelandangan berada, berjuang untuk hidup di ibu kota. Entah apa yang
mereka pikirkan sampai mengadu nasibnya di sana. Bekal yang kurang, tidak punya
pengalaman, Berharap kesuksesan datang.
“Silakan dipilih, ini tempat terbaik dari yang ada. Harga murah dan
kualitasnya tidak kalah dengan toko besar.”
“Bukanya ini, toko baju loak?” bibir Teguh manyun melihat tempat
yang ditunjukan Agung.
“Di sini bagus, semua jenis pakaian ada di sini. Nggak ada salahnya
kan mencoba?”
Teguh memasuki toko melihat-lihat sekitar mencari sesuatu yang
diinginkan dan mendapatkanya. Pandangan Teguh terganggu oleh beberapa anak jalanan,
yang sedang menjaili Agung. Teguh membayar jas yang dipakainya dan menuju
ke tempat Agung berada.
“Lepaskan bocah itu?” Teguh mulai memperlihatkan sifat diktatornya.
“Siapa kau? Anak baru ya?” sambil mengamati wajah Teguh yang
terlihat asing di matanya.
Tanpa banyak bicara Teguh mendekati bocah jalanan memberinya
beberapa uang 50.000 an, dan mengusirnya pergi dari hadapanya. Teguh berfikir
bahwa uang selalu bisa menyelesaikan masalah. Memang semua bocah jalanan itu
pergi dari hadapanya dan masalah selesai.
“Kau tidak apa-apa Gung?”
“Makasih Pak, udah 2 kali Bapak menyelamatkanku. Sekarang aku mulai
bingung bagaimana membalasnya?”
“Cukup bantu aku temukan jalan tercepat menuju café California.
Kamu tau kan?”
“Hem, lewat sini Pak..!” Agung menggandeng tangan kanan Teguh dan
melebarkan senyumannya saat memandang Teguh.
Senyum yang lama tidak terlihat semenjak kematian ibu Agung. Agung
mulai akrab dengan Teguh dan tidak canggung lagi untuk mengobrol ataupun untuk
bercerita tentang kehidupanya di tengah kota Semarang. Agung mulai bercerita
bahwa dulunya dia tinggal di Salatiga salah satu kota besar di selatan kota Semarang
bersama ibunya.
Matahari senja sudah tenggelam adzan magrib mulai berkumandang, Agung
membawa Teguh ke masjid untuk melaksanakan sholat magrib.
“Ayo Pak, kita sholat magrib dulu. Bapak masih punya banyak waktu
sebelum ke cafe California”
“Kamu saja, aku tidak melakukan ritual aneh seperti itu.
Orang-orang yang membuang waktunya untuk hal yang tidak berguna.” Teguh
memalingkan mukanya.
“Aku kira yang aneh itu Bapak. Kata ibuku, sholat adalah wujud terima
kasih kita terhadap Tuhan.” Bantah Agung terhadap pendapat Teguh.
“Aku tunggu kau di depan. Cepatlah, aku tidak mau telat dengan
rapat ku.”
Setelah melaksanakan sholat magrib Agung mencari keberadaan Teguh.
Ternyata Teguh sedang duduk di warung kaki lima di pinggir jalan. Menikmati semangkuk
Soto kesukaannya. Dan, Agung menghampirinya.
“Agung tidak menyangka, kalau Bapak juga suka makanan pinggir
jalan?” ucap Agung penuh keheranan
“Ya, kalau soto itu makanan masyarakat umum. Ini salah satu makanan
kesukaan Bapak. Sini duduk kelihatanya kamu juga lapar?”
“Bapak tau saja kalau Agung lagi lapar.”
Obrolan hangat mulai terjalin antara Teguh dan Agung. Suasana tawa
canda antara keduanya bagai anak dan ayah yang telah ditemukan kembali. Tapi,
dalam kenyataannya Teguh masih perjaka yang belum mempunyai calon pendamping
hidup apalagi istri. Teguh mulai menyukai Agung dan bercerita banyak kepadanya.
Tentang kehidupanya dulu yang awalnya juga gelandangan seperti Agung. Dengan
kerja keras dan usaha yang gigih Teguh masih bisa sekolah, melanjutan ke
perguruan tinggi di Semarang dan berhasil menjadi salah satu pengusaha muda
sukses. Teguh percaya semua kesuksesan adalah dari dirinya sendiri. Tidak ada
yang berhak untuk berbagi harta dengannya.
Teguh hanyut oleh suasana dan lupa akan segalanya. Teguh menengok
ke Agung ternyata dia tertidur di atas pahanya. Kelihatanya Teguh terlalu
panjang bercerita tentang kehidupan. Perasaan Teguh tak pernah sebebas ini.
Jiwanya terasa terlepas dari penjara kesendirian. Ada kehidupan baru yang mulai
terlampir dalam cerita hidupnya.
Tiba-tiba handpone Teguh berbunyi, ternyata itu telepon dari
sekretarisnya Sinta.
“Pak, anda ditunggu oleh Bapak Rudi Handika di café California.”
“Bilang ke Pak Handika, rapat hari ini di batalkan, dan juga PT.
Harapan Putra. Tolong kamu ke sini dan jemput aku. Di depan kompleks masjid
pasar Johar.”
“Tapi Pak, ini proyek besar. Kalau gagal perusaan akan rugi
banyak.” Sinta mulai melakukan kebiasaanya membantah pemikiran Teguh.
“Bisakah untuk hari ini kamu tidak membantah perkataanku, tolong?”
“Ha? Baik, Pak.” Sinta terkejut. baru pertama kali ini seorang Teguh
Prasetya bilang tolong padanya.
Beberapa menit kemudian Sinta datang membawa mobil dan menemui Teguh.
“Bapak kok makan di tempat seperti ini. Baju Bapak lucek. Lalu anak
siapa itu Pak, Bapak kerampokan?”
“Diamlah, dan bantu aku membawa anak ini ke mobil.”
“Ya Pak, Bapak ada masalah apa?”
Teguh lebih memperhatikan keadaan Agung dan membawanya masuk ke
dalam mobil dari pada menggubris pertanyaan Sinta. Hal yang aneh bagi sinta.
Sinta menggelengkan kepalanya terheran-heran dengan apa yang dilakukan Teguh.
“Sinta! Cepat jalankan mobilnya.”
“Ya, Pak.” Sinta bergegas menaiki mobil dan mengemudikanya.
Pemikiran Teguh mulai terarah dia ingin bersama agung untuk
menemani kesepiannya. Salah satu sifat Teguh yang paling dominan, dia harus
mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan itu adalah Agung. Mobil mulai berjalan
menuju rumah Teguh dan tiba-tiba Agung terbagun dari tidurnya.
“Pak Teguh, aku dimana?”
“Kau ada di mobilku Agung, aku akan membawamu ke rumahku, dan
tinggal bersamaku.” Gamblang Teguh kepada Agung.
“Bapak bicara apa? Agung nggak ngerti.” Agung masih
terhuyung-huyung dan menggumam dalam bangunnya dari tidur.
“Kamu mau kan tinggal bersama aku Agung?” Teguh merengkuh tubuh
mungil Agung dengan pelukanya.
“Ehm…, maaf Pak. Aku tidak tau apa yang Bapak pikirkan? Jika Bapak hanya
meresa kasian denganku atau karna aku. Ee..?, mengingatkan pada masa lalu
bapak. Maaf Pak, aku nggak mau merepotkan Bapak. Aku hanya ingin mencari
ayahku.” Teguh mulai menundukkan kepalanya.
“Apa yang kau pikirkan Agung? Kamu akan senang dan bahagia
denganku. Aku punya harta dan kekayaan yang berlimpah untuk kita nikmati
bersama. Kau tidak perlu mengemis di pinggir jalan apa lagi mencuri. Kau bisa
sekolah, bermain seperti anak normal lainnya?” Teguh mencoba meyakinkan Agung.
“Bapak gila ya? Tante bisa turunkan aku di sini?” Sinta
menghentikan mobil dan Teguh membiarkan Agung keluar dari mobil. Teguh tertegun
dan merebahkan tubuhnya di kursi mobil.
“Apakah aku bisa menemuimu lagi Gung?” Teguh tidak pernah patah
semangat.
“Bapak selalu bisa menemuiku di tempat, di waktu dan di senja yang
sama.” Senyum lebar Agung menemani kepergian Teguh dengan Sinta.
“Apakah aku memang gila Sinta? Apakah aku tidak pantas mendapatkan
teman hidup yang bisa aku ajak berbagi dan menemani kesendirianku?” Teguh menatap
pemandangan dari jendela mobil dan mulai meneteskan air mata.
“Bapak bisa mencari pendamping mungkin?” sinta memperhatikan Teguh yang
sedang menangis dari kaca di depanya.
“Kamu mau menjadi pendamping hidupku?”
“Ehemm.” Sinta mencoba mengalihkan perhatian. “Bapak bercanda ya?”
“Apa aku pernah bercanda Sinta?”
“Nggak pernah Pak.” Jantung sinta berdetak begitu kencang, nafasnya
mulai sesak dan otot-otot di tubuhnya mulai tidak bisa digerakan.
“Sekarang aku bercanda Sinta, kamu itu terlalu sempurna untukku dan
aku tahu kita sudah berteman sejak SMP. Mana bisa kau ku jadikan pendamping
hidupku.”
“Apakah Bapak mencintaiku?” Sinta mulai meyakinkan pernyataan
Teguh.
Sekarang Teguh mulai gelisah tak menentu, pikiranya mulai lari kemana-mana.
Haruskah hari ini, pada situasi ini dan di senja ini?
“Bagaimana kalau besok kita cuti dan mengajak Agung jalan-jalan?
sudah lama kita nggak pernah jalan bareng. Gimana Sinta?” Teguh mulai
mengalihkan pembicaraan.
“Bapak takut aku tolak, Bapak takut bertanggung jawab atau Bapak memang
tidak pernah mencintaiku?” Sinta mempertegas pembicaraannya. “Kalau Bapak masih
belum siap seperti sebelumnya. Aku akan selalu menunggumu, Teguh Prasetya.”
“Lebih baik kita tidak membicarakan itu, antarkan aku ke rumah aku
mau istirahat.”
“Aku tahu kenapa Bapak selalu merasa kesepian. Karna Bapak takut.
Takut menerima kenyataan bahwa Bapak tidak bisa hidup sendiri di dunia ini.
Sinta mengerang laksana Singa dan Teguh malah memalingkan mukanya dari Sinta
lalu mulai menangis lirih menyayat.
Teguh masih meneruskan tangisannya dan membiarkan Sinta mengolok-oloknya.
Susana di dalam mobil itu dipenuhi dengan air mata. Sesampai di rumah Teguh langsung
tidur di kamar hingga matahari pagi membangunkan tidurnya. Di depan rumah Sinta
sudah berdandan cantik untuk janji Teguh yang akan mengajaknya cuti dan
jalan-jalan bersama. Tapi hal itu tidak pernah terjadi yang mereka lakukan
berdua hanya mengitari kota Semarang untuk mencari keberadaan Agung yang hilang
entah kemana.
Sampai beberapa hari berjalan. Sudah seminggu saat terakhir kali Teguh bertemu
dengan Agung. Waktu menunjukan jam 17.12 WIB. Senja yang sama Teguh melihat
Agung sedang duduk di halte bus memegang setumpuk Koran di tangannya. Teguh
berlari keluar dari mobilnya dan menemui Agung.
“Waktu, tempat dan senja yang sama. Akhirnya aku menemuimu, Agung.”
“Pak Teguh, tidak ku sangka aku bisa menemui Bapak di tempat
seperti ini.”
“Tuhan yang mengaturnya. Kamu jualan koran sekarang?”
“Setelah mendengar cerita Bapak kemarin. aku juga ingin seperti Bapak,
bisa sukses dengan usaha dan jerih payahku sendiri. Dan tanpa bergantung pada
orang lain.”
“Boleh aku memelukmu Agung?”
“Terserah Bapak.”
“Panggil saja aku Teguh, kali ini kau tidak boleh menolak
keinginanku.” Teguh memeluk Agung dengan erat.
“Memang keinginan Bapak apa?”
“Menanti senja bersamamu.” Agung hanya diam menanggapi jawaban
Teguh.
The End